Mengapa Jepang Menyerang China?

Date:

VERSA — Tahukah kamu, Jepang pernah membantai warga sipil China hingga membabi buta di masa lalu? Betul. Tepatnya, terjadi di dalam kurun waktu 7 Juli 1937 sampai 9 September 1945. Peristiwa bersimbah darah itu terjadi di Nanking (sekarang Nanjing), dan menjadi perang Asia terbesar pada abad ke-20. Pertanyaan besarnya, mengapa Jepang menyerang China?

Sebelum lebih jauh, mari kita tilik hubungan panas antara kedua raksasa Asia pada era sebelum Kemerdekaan Indonesia itu.

Sesungguhnya, perang antara China (atau Tiongkok) dan Jepang ini merupakan kali kedua, persis sebelum dan selama Perang Dunia kedua. Kedua kubu sempat sebentar-sebentar berperang sejak tahun 1931, namun, perang berskala besar justru dimulai pada tahun 1937 dan berakhir pada tahun 1945, dengan ditandai dengan menyerahnya Jepang.

Hal ini terpapar dalam jurnal berjudul The Showa Emperor’s “Monologue” and the Problem of War Responsibility, Journal of Japanese Studies, karangan Herbert P. Bix.

Dalam tulisannya, perang merupakan akibat dari kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Negeri yang kesohor dengan propaganda 3A (Jepang sebagai Cahaya, Pelindung, dan Pemimpian Asia) itu bermaksud mendominasi China secara politis dan militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang sangat banyak dimiliki China.

Poster gerakan propaganda Jepang 3A

Pada saat yang sama, kebangkitan nasionalisme China dan kebulatan tekad membuat perlawanan tidak bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak sudah bertempur dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang secara terbuka.

Invasi Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan nama Insiden Mukden. Bagian akhir dari serangan ini adalah Insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937, sekaligus menjadi genderang perang besar-besaran antara kedua negara.

Sejak tahun 1937 sampai 1941, China berperang sendiri melawan Jepang. Setelah peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbor terjadi, Perang China-Jepang Kedua pun bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II.

Pembantaian Nanking

Meski akhirnya menyerah, Jepang meninggalkan luka mendalam hingga hari ini bagi warga China. Yakni, Pembantaian Nanking. Peristiwa yang juga dikenal dengan “Pemerkosaan Nanking” itu adalah sebuah tragedi pemerkosaan dan pembantaian massa yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap penduduk Nanking saat Perang Kedua pecah pada tahun 1937–1945.

Pembantaian terjadi selama enam minggu, dimulai pada 13 Desember 1937, hari di mana Jepang mulai menguasai Nanking, yang kemudian menjadi Ibukota China. Dalam kurun waktu ini, setidaknya 40.000 sampai lebih dari 300.000 warga sipil China diperkosa dan dibantai.

Aroma busuk menyebar di sepanjang jalan yang dilalui tentara Kwantung dari Manchuria ke Shanghai. Pada pertengahan November 1937, teror yang dilakukan tentara Jepang terus meningkat, dan semakin mendekat ke jembatan kota Nanking, lokasi pusat pemerintahan China.

Lantas, pertanyaan besarnya, mengapa Jepang menyerang China?

Seperti yang sempat disebutkan, konflik antara Jepang dan China bermula pada pertengahan awal 1930-an. Kala itu, tentara Jepang di Manchuria sempat merekayasa sebuah ledakan di dekat lintasan kereta api, atau dikenal pula dengan Insiden Mukden.

Kejadian itu menyudutkan pemerintah China, yang kemudian menyebabkan krisis di Manchuria. Diamnya tentara Jepang di Manchuria ditandai dengan adanya kerusakan yang sistematik dan terbunuhnya beberapa panglima perang China. Agresi militer terhadap Manchuria pun digencarkan, membuat Jepang mnenjadi lebih agresif, dan mengobarkan api permusuhan. Kejadian ini yang kemudian memicu terjadinya pembantaian di Nanking pada 13 Desember 1937.

Baca juga: Harga iQOO 9T 9 Jutaan Rupiah, Disponsori BMW M Motorsport

Kompetisi Membantai

Selama masa pembantaian warga sipil, penduduk China yang terjebak di kota diarahkan untuk kabur melalui zona aman yang dikawal oleh sebuah komite internasional. Namun, pada zona aman –yang dibangun oleh orang-orang asing meliputi diplomat, pebisnis, dan kelompok misionaris– hanya bisa mengakomodasi sekitar 200.000 orang.

Pembantaian semakin menggila. Selama enam minggu, serdadu Jepang mendatangi kemah-kemah pengungsian dan mengeluarkan orang-orang sipil China untuk dibunuh. Faktanya, pada beberapa literatur, pembantaian dan pemerkosaan ini terjadi di penampungan.

Adalah seorang misionaris Kristen, John Magee, seperti yang dikutip BBC, ia menggambarkan tentara Jepang yang membantai para tahanan dan warga sipil bagaikan sedang memburu kelinci. Dia area “berburu” ini, para korban dibantai dengan cara dipenggal dan dibakar. Jasad-jasad korban kemudian dipotret, diapit para tentara Jepang sambil menyeringai.

Namun, ada kisah lain yang tak kalah mengerikan dalam tragedi ini. Di tahun 1937, media Osaka Mainachi Shimbun, dan media saudari dari Koran Tokyo, Nichi Nichi Shimbun, memuat kompetisi antara dua prajurit Jepang, Toshiaki Mukai dan Tsuyoshi Noda, yang berkompetisi untuk menentukan siapa yang lebih dulu membunuh 100 warga China dengan pedang.

Kompetisi itu berlangsung pada sepanjang jalan menuju Nanking, beberapa saat sebelum Pembantaian Nanking terjadi, dan sempat dipublikasikan dalam empat rangkaian artikel sejak 30 November sampai 13 Desember 1937. Dua artikel terakhir diterjemahkan di Japan Advertiser.

Diadaptasi ke Buku dan Film

Pembantaian Nanking menjadi satu dari alasan-alasan lain mengapa sampai hari ini banyak warga China yang relatif enggan berhubungan dengan warga Jepang. Banyak sayatan luka lama yang meski sudah “kering” namun sulit dilupakan. Sampai-sampai peristiwa ini diadaptasi ke beberapa media, termasuk buku-buku dan film, agar keturunan-keturunan mereka tahu dan mengerti apa yang dilakukan oleh tentara Jepang di masa lalu. Jika penasaran, salah satunya film “Nanjing 1937” yang rilis tahun 1995.

Untuk buku, silakan kalian buru judul “The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II” (Pemerkosaan Nanking: Musibah yang Terlupakan dari Perang Dunia II). Buku ini ditulis oleh Irish Chang.

Irish Chang

Irish Chang adalah seorang sejarawan Amerika-China dan juga seorang jurnalis. Ia banyak dikenal melalui buku kontroversialnya terkait Pembantaian Nanking. Tentu lebih jelas alasan mengapa Jepang menyerang China di dalam bukunya, yang notabene mengompilasi berbagai kisah dari saksi hidup peristiwa.

Chang sempat mengampanyekan agar pemerintah Jepang membuat pernyataan permintaan maaf pada China dan membayar kompensasi atas perilaku kejinya di masa lalu. Sayang, ia ditemukan wafat bunuh diri pada tahun 2004 silam. Menurut laporan, ia mengalami depresi berat akibat gangguan mental bipolar disorder.

Sampai artikel ini dipublikasikan, Pemerintah Jepang masih mengelak bahwa Kekaisaran Jepang menjadi otak dari Pembantaian Nanking yang mengakibatkan gugurnya ratusan ribu tentara serta warga sipil China selama Second Sino-Japanese War.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Share post:

Subscribe

spot_img

GOAT

More like this
Related

Review ASUS Vivobook Pro 16 OLED (K6602): Laptop untuk Editor

ASUS Vivobook Pro 16 OLED (K6602) adalah laptop terbaru...

ASUS ExpertBook B5, Laptop Bisnis Berteknologi AI

ASUS mengumumkan kehadiran ExpertBook B5 (B5404CMA), laptop bisnis ringan...

Vivobook Go 14 E1404, Laptop untuk Pelajar Sekolah

Vivobook Go 14 E1404 bisa dibilang sebagai laptop thin and light entry-level terbaik di kelasnya. Laptop ini sangat cocok digunakan sebagai laptop untuk pelajar yang membutuhkan perangkat ringan dan tangguh.

Kampus LSPR Punya Jurusan Metaverse?

Keduanya ingin sektor pendidikan agar segera masuk ke metaverse. Lalu, apakah ini tanda-tanda LSPR punya jurusan metaverse?